Oleh: Ninuk Kleden-P
Antropolog peneliti etnik minoritas

Kalau bahasa dapat dijadikan pemarkah etnik,  maka Indonesia yang  mempunyai 726 bahasa (Ethnologue, 2009),  mempunyai 726 etnik. Terbanyak ada di Indonesia  Timur dengan  penutur yang  berjumlah kecil, termasuk Gamkonora. Minoritas dipopulerkan, agar keberagaman dapat lebih dipahami, diskriminasi dan ketidakadilan dapat diempati, dan kohesi  sosial dapat diperkuat.  Etnik  minoritas mempunyai  kemampuan adaptasi dan resisten terhadap perubahan sosial, politik, dan  ekonomi.  Memahami mereka kita bisa  lebih toleran dan menghormati perbedaan, meskipun yang dibicarakan di sini hanya dalam bentuk matapencaharian sederhana saja.

Gamkonora  & Motilo’a  

Pagi itu kapal kayu yang berlayar 2 kali sehari, bertolak dari  Ternate menuju Jailolo Dos dan karung, masuk ke perut kapal,  sepeda motor di dak, dan kami duduk berhimpit dihibur video. Cukup Rp.70.000 setengah jam perjalana, atau  dengan  kapal cepat Rp. 85.000 sehari sekali, kapal besi Rp. 120.000 seminggu sekali.  Jalur yang cukup ramai.

Gamkonora, etnik minoritas dengan 758 jiwa (tahun 2019), tinggal di empat desa, tiga di kecamatan Ibu Selatan (Gamsungi, Talaga, Gamkonora), dan satu lagi, di desa Tahafo, kecamatan Ibu. Keduanya di kabupaten Halmahera Barat, provinsi Maluku Utara. Namanya merujuk bahasa, disebut dalam buku linguistik dunia, Ethnologue; Languages of the World (ed. Paul M. Lewis, 2009), merujuk etnik, juga nama gunung berapi (1.635 meter).

Sejak Reformasi muncul nama Motilo’a yang oleh sebagian kawula muda diharap dapat menggantikan nama Gamkonora. Mungkin tidak lah mudah untuk mengganti nama yang sudah terikat dalam literatur dunia.

Motilo’a, konsep yang secara metafor mengikat keempat desa orang Gamkonora. Berasal dari bahasa Ternate, Moti berarti ikatan, semisal ikatan kayu bakar. Jadi, Motilo’a mengikat keempat desa Gamkonora.

Nama Gamkonora sudah dikenal sejak kerajaan Ternate berdiri tahun 1250, sebelum menjadi Kesultanan. Tidak heran kalau orientasi kebudayaan Gamkonora ya Ternate, termasuk bahasanya. Gamkonora berasal dari kata Gam yaitu kampung dan konora posisinya yang menurut orang tua-tua berada di tengah, di antara desa Gamsungi dan Talaga. Menariknya, dalam peta, desa Talaga lah yang terletak di tengah, di antara Gamkonora dan Gamsungi.

Ibu kota kecamatan berdasarkan keputusan DPRD ada di desa Talaga, yang ditolak oleh sebagian warga desa lain. Alasannya, Gamkonora adalah desa tertua, tempat di mana etnik ini berasal. Jadi sebaiknya Gamkonoralah yang dijadikan ibukota. Talaga sebagai ibu kota dianggap suatu kesalahan, ditandai dengan berbagai musibah. Banjir besar yang terjadi tahun 2011 dianggap sebagai dampak dari posisi ibu kota kecamatan ini.

Antara Kasbi dan Ba’u, Perempuan dan Laki-Laki

Sistem kekerabatan Gamkonora patrilineal, yang berimbas di segala sektor, termasuk penanda; kasbi atau singkong, identik dengan perempan, dan ba’u yaitu sagu adalah laki-laki.  Papeda dari kasbi merupakan makanan sehari-hari yang dikonsumsi siang dan malam, sedangkan papeda dari ba’u adalah makanan pesta, terhormat. Tidak ada hajatan yang menggunakan papeda kasbi.

Matapencaharian pokok adalah pertanian, kecuali desa Tahafo. Hasil terbesar kasbi. Rata-rata mencapai 99,7 ton, sementara padi ladang 32 ton, jagung 31,4 ton dan ubi jalar 81,1 ton.

Saat mata hari mulai mengintip ulah manusia, desa sudah menggeliat. Nyaman juga jalan pagi menapak permadani tanpa aspal yang tidak rata. Aroma laut dibawa semilir angin singgah di hidung.

Ibu-ibu tampak sibuk mengolah kasbi untuk papeda, bubur tajin pekat, yang disantap siang dan malam. Bu Aan sedang mengupas sebaskom besar kasbi yang kemarin sore dicabutnya di ladang bersama anaknya. Satu baskom memerlukan 5 atau 6 pohon, bahkan bisa 7 kalau pohonnya kecil. Kasbi tetangganya sudah dicuci bersih, siap dibawa ke tempat pemarutan. Desa itu mempunyai 4 alat parut yang bisa disewa. Parutan kasbi diambil patinya, disiram dengan air dan ditapis. Kasbi juga dibuat lempengan roti. Parutan kasbinya langsung diperas, tidak dicampur air.  Patinya dicetak dalam forno, dibakar, dan dimakan sebagai cemilan, teman teh, kopi.

Ba’u: Tanaman Sosial yang Terimbas Modernitas

Pohon sagu rata-rata tingginya 20 – 30 m, tumbuh di rawa, dan bisa menghasilkan 150 – 300 kg pati. Sagu tidak memerlukan perawatan, anaknya tumbuh sendiri seperti pisang.  Sampai 15 tahun lalu, ia boleh ditebang siapa saja yang membutuhkan; biaya orang sakit,   pendidikan, atau untuk hidup di musim Barat, cuaca buruk, angin kencang, nelayan tidak melaut dan petani sulit ke ladang, maka sagu dapat memperpanjang kehidupan, asal pemilik dan penebang masih dalam satu etnik, dan melapor  setelah menebang. Dalam perkembangannya, penebang harus minta ijin terlebih dahulu. Ada bagi hasil; penebang menerima 3 bagian dan 1 bagian untuk pemilik. Kalau pohon lebih kecil maka berlaku 2 : 1.

Urusan ba’u urusan laki-laki. Membuat tumang, anyaman keranjang untuk wadah, tebang pohon dengan gergaji mesin, membelah batang dan ambil isinya sebagai bongkahan yang disimpan dalam tumang, untuk dijadikan tepung. Perempuan hanya menapis. Tepung sagu dibuat papeda, dimasak dalam  buluh bambu, atau dibungkus dengan daun sagu dan dibakar. Dimakan sebagai cemilan.

Sekarang pohon sagu mulai dibudidayakan. Anak sagu dipindah saat berumur 6 bulan – 1 tahun. Ba’u diproduksi, untuk dieksport ke luar daerah.  Tidak ada lagi hutan sagu yang bebas diambil mereka yang memerlukan.  Peran sosialnya lenyap, dan belum tampak ada institusi penggantinya.

Selengkapnya:

Namaku Gamkonora, Sapaanku Motilo’a

redaksi
Editor